Menurut Pasteur,
keberadaan oksigen akan menghambat jalur fermentasi di dalam sel khamir
sehingga sumber karbon yang ada akan digunakan melalui jalur
respirasi. Fenomena ini sering disebut sebagai Pasteur effect (Walker 1998). Pada sel-sel
prokariota dan eukariota, Pasteur effect banyak dijumpai, salah satu
contoh adalah fermentasi asam laktat oleh sel otot manusia ketika
kekurangan oksigen. Berdasarkan fenomena ini, seharusnya produksi
ethanol oleh khamir terjadi pada kondisi anaerob. Namun ternyata, Pasteur effect pada
sel khamir diamati pada sel yang telah memasuki fase stasioner (resting), sedangkan produksi alkohol terjadi ketika sel berada
pada fase pertumbuhan (fase log) (Alexander & Jeffries 1990). Hal
inilah yang membuat Pasteur effect diduga bukan fenomena yang terjadi
saat produksi ethanol oleh Saccharomyces cerevisiae.
Herbert Crabtree
pada tahun 1929 menemukan suatu fenomena lain yang terjadi pada sel tumor
dimana pada sel tersebut jalur fermentasi dominan terjadi walaupun
dalam kondisi aerob (Alexander & Jeffries 1990). Pada tahun 1948,
Swanson dan Clifton pertama kali menunjukkan bahwa fenomena tersebut
terjadi pada selSaccharomyces cerevisiae yang
sedang tumbuh dan menghasilkan ethanol sebagai produk fermentasi
selama terdapat glukosa dalam jumlah tertentu di dalam medium
pertumbuhannya (Alexander & Jeffries 1990). Fenomena tersebut awalnya
disebut contre-effect Pasteur sebelum
istilah Crabtree effect digunakan (de Dekken 1966).Crabtree effect pada khamir dapat diamati ketika medium
pertumbuhan mengandung glukosa dalam konsentrasi yang tinggai (diatas 5 mM)
(Walker 1998). Berdasarkan de Dekken (1966), Crabtree effect tidak terjadi pada semua khamir, namun hanya pada
beberapa species saja, antara lain Saccahromyces cerevisiae, S. chevalieri, S. italicus, S. oviformis, S. pasteurianus, S. turbidans, S. calsbergensis, Schizosaccharomyces pombe, Debaryomyces globosus, Bretanomyces lambicus, Torulopsis dattila, T. glabrata, dan T. colliculosa. Terdapat tiga mekanisme yang menjelaskan Crabtree effect: 1. represi katabolit; 2. inaktivasi katabolit; dan 3.
kapasitas respirasi yang terbatas.
Represi katabolit
terjadi ketika glukosa, atau produk awal metabolisme glukosa, menekan sintesis
berbagai enzim respirasi (Fietcher et al. 1981). Namun mekanisme detil, seperti
senyawa yang memberikan sinyal untuk menekan sintesis tersebut, masih belum
jelas (Walker 1998). Ide awal represi katabolit dicetuskan oleh von Meyenberg
pada tahun 1969 (Alexander & Jeffries 1990) yang menumbuhkan S. cerevisiae dalam medium yang mengandung glukosa
dengan metode continues culture. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa saat
konsentrasi sel rendah, jalur metabolisme yang digunakan adalah respirasi,
sedangkan ketika konsentrasi sel telah mencapai suatu angka kritis, fermentasi
ethanol terjadi. Dari hasil tersebut diduga pada konsentrasi sel yang rendah,
enzim-enzim respirasi masih mencukupi untuk melakukan jalur respirasi, namun
saat konsentrasi sel bertambah, konsentrasi enzim tidak bertambah sebab ditekan
sintesisnya oleh glukosa, sehingga jalur respirasi terhenti dan digantikan oleh
fermentasi. Selain represi terhadap sintesis enzim, konsentrasi gula yang
tinggi juga akan mengganggu struktur mitokondria khamir, sebagai contoh
hilangnya membran dalam dan kristae. Namun struktur tersebut akan kembali
normal saat jalur respirasi menggantikan fermentasi ethanol (Walker 1998).
Perubahan struktur tersebut akan menghambat siklus Krebs dan fosforilasi
oksidatif yang berlangsung di mitokondria.
Inaktivasi
katabolit terjadi ketika glukosa menonaktifkan enzim kunci dalam jalur
respirasi, contohnya fruktosa 1,6-bifosfatase (FBPase). Inaktivasi terjadi
pertama-tama melalui proses fosforilasi enzim, kemudian diikuti dengan
pencernaan protein enzim di dalam vakuola (Walker 1998). Mekanisme inaktivasi
FBPase pada S. cerevisiaedimulai dengan peningkatan konsentrasi cAMP dan FBPase di
dalam sel oleh glukosa. Kenaikan kedua molekul tersebut akan memicu cAMP-dependent protein kinaseuntuk melakukan fosforilasi terhadap FBPase (Francois
et al. 1984).
Mekanisme terakhir
yang menjelaskan Crabtree effect pada khamir adalah keterbatasan
kapasitas respirasi khamir yang diusulkan oleh Bardford & Hall (1979).
Kedua peneliti tersebut melakukan penelitian yang mirip dengan von Meyenberg,
namun tidak menemukan bukti adanya represi katabolit oleh glukosa. Oleh sebab
itu mereka berpendapat bahwa khamir-khamir yang mampu melakukan fermentasi
aerob memiliki keterbatasan kapasitas respirasi. Ketika glukosa terdapat dalam
konsentrasi tinggi, glikolisis akan berjalan dengan cepat sehingga menghasilkan
pyruvat dalam jumlah yang tinggi. Namun keterbatasan khamir tersebut untuk
menggunakan pyruvat dalam jalur respirasi selanjutnya (Siklus Krebs dan
fosforilasi oksidatif) menyebabkan pyruvat yang tersisa dirubah secara
fermentatif menjadi ethanol. Kebalikannya, khamir yang tidak melakukan
fermentasi aerob dianggap memiliki kapasitas respirasi yang tidak terbatas
sehingga mampu menggunakan seluruh pyruvat yang dihasilkan dari glikolisis
walaupun jumlah glukosa di medium tinggi (Alexander & Jeffries 1990).
Acuan:
Alexander, M.A.
& T.W. Jeffries. 1990. Respiratory efficiency and metabolize partitioning
as regulatory phenomena in yeasts. Enzyme Micobe. Technol. 12: 2-29.
Bardford, J.P.
& R.J. Hall. 1979. An examination of the crabtree effect in Saccharomyces
cerevisiae: The role of respiration adaptation. Journal of General
Microbiology, 114: 267 - 275.
de Dekken, R.H.
1966. The Crabtree effect: A regulatory system in yeast. J. gen. Microbiol. 44:
149 - 156.
Walker, G.M. 1998.
Yeast: Physiology and biotechnology. John Wiley & Sons, Chichester: xi +
350 hlm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar